Hand-out Discussion Pelatihan Kader Dasar (PKD) Oleh Nur Sayid Santoso Kristeva.
Paradigma Kritis Transformatif
Prawacana
Paradigma merupakan sesuatu yang vital dalam sebuah organisasi pergerakan, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun kontruksi berpikir dan cara memandang sebuah pembicaraan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan perilaku organisasi. Bahkan dengan paradigma pula organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.
Organisasi PMII selama ini belum memiliki paradigma yang secara definitive menjadi acuan gerakan. Cara pandang dan bersikap warga pergerakan selama ini mengacu pada nilai dasar pergerakan (NDP). Karena tidak mengacu pada kerangka paradigmatik yang baku, upaya merumuskan dan membnagun kerangka nilai yang dapat diukur secara sistematis dan baku, sehingga warga
pergerakan sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadi acuan yang akhirnya berujung pada terjadinya keberagaman cara pandang dan tafsir atas nilai tersebut.
Namun demikian, dalam masa dua periode kepengurusan terakhir (sahabat Muhaimin Iskandar dan sahabat Saiful Bachri Anshori) secara factual dan operasional ada karakteristik tertentu yang berlaku dalam
warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis dengan pendekatan teorti kritis. Dengan demikian secara umum telah berlaku paradigma kritis
dalam tubuh warga pergerakan. Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, penguatan masyarakat dihadapan negara yang otoriter, sebagai upaya aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan ajaran kegamaan yang diyakini.
Pengertian Paradigma dalam khazanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh oleh para pimikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab,
bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang
terdapat di dalamnya.
Mengingat banyaknya difinisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan
atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak dimabil oleh PMII. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma. Berdasarkan pemikiran dan
rumusan yang disusun oleh para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan
analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam
“mendekati”obyek kajianya (the subject matter of particular dicipline) yang ada dalam ilmu
pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsiasumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleg seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan
dalam menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang, sampai pada aksi dan solusi yang diambil. Pilihan Paradigma PMII disamping terdapat banyak pengertian mengenai paradigma, dalam
ilmu sosial ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat realitas yang ada di masyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis maka PMII
memilih paradigma kritis-transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.
Paradigma Kritis-Transformatif PMII
Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis
sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian ia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebutd diberlakukan Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan
paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan
sendirinya ia harus diletakkan pada posisi tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam
hal ini penerapan paradigma kritis bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sacral, tetapi pada pesoalan yang profan.
Lewat paradigma kritis di PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan
dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.
Sebagaimana dijelaskan di atas, pertama, paradigma krirtis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari
berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan. Kedua, paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga, paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis di kalangan warga PMII. Contoh yang paling konkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari berbagai intelektual Islam diantaranya:
Hassan Hanafi
Penerapan paradigma kritis oleh Hasan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi
pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui masyarakat Islam yang
mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menurutnya selama ini Islam mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelemahan
mendasar dalam metodologi ini. pada titik ini dia memberikan kritik tajam terhadap metode
trandisional teks yang telah mengalami ideologis. Untuk mengembalikan peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat, Hasan Hanafi mencoba menggunakan metode “kritik Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkret untuk mengetahui siapa memiliki apa, agar realitas berbicara dengan dirinya sendiri. Sebagai realisasi dari metode ini, dia menawarkan “desentralisasi Ideologi” dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan
(sebagai teologi parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran. Usaha Hasan Hanafi ini ditempuh dengan mengadakan rekontruksi terhadap teologi tradisional yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan hermeneutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari teologi.
Untuk menjelaskan teologi menjadi antropologi, Hanafi memaknai teologi sebagai Ilmu Kalam. Kalam merupakan realitas menusia sekaligus Ilahi. Kalam bersifat manusiawi karena merupakan
wujud verbal dari kehendak Allah kedalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. Dalam pemikiran Hanafi, kalam lebih besifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam sebagi kehendak Allah-memiliki daya imperaktif bagi siapapun kalam itu disampaikan. Pandangan Hanafi tentang teologi ini berbeda dengan teologi Islam yang secara tradisional dimengerti sebagai
ilmu yang berkenaan dengan pandangan mengenai akidah yang benar. Mutakallimin sering disebut sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar” yang muncul untuk menghadapi “ahl-albid’ah” yang mengancam kebenaran akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya berhadapan secara dialektis. Akan tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika tindakana, tetapi dialektika kata-kata. Gagasan teologi sebagai
antropologi yang disampaikan oleh Hasan Hanafi sebenarnya justru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu. Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “teologi menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi ketersinggungan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan oleh Karl Marx terhadap filasafat Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan “lewat sub-judul; dari tuhan ke bumi, dari keabadian ke waktu, dari taqdie ke hendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari teologi ke tindakan, dari kharisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.
Mohammad Arkoun
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat
muslim kontemporer. Pemikiran Islam dianggapnya “naif” karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan wahyu Ilahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyarakat teetentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqh tertentu. Pemikiran
Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru di dalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran
Islam.Karena krituknya terlalu krirtis ini, Arkoun sering memberikan jawaban diluar kelazimanumat Islam (Uncommon Answer) ketika menjawab problem-prolem kehidupan yang dialami umat Islam.
Jawaban seperti inu terlihat jelas dalam penerapan teori pengetahuan (theory of knowledge).Teori pengetahuan ini meliputi landasan epistimpologi kajian tentang studi–studi agama Islam. Dalam hal ini Arkoun membedakan wacana ideologis, wacana rasional, dan wacana profetis.
Setiap wacana memiliki watak yang berbeda sehingga diperlukan kesesuaian dengan wataknya. Selama ini orang dengan mudah menyatakan melakukan kajian secara ilmiah, akan tetapi itu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muslim, melainkan juga oleh orang-orang barat yang mengideologikan sikap mereka dalam memandang Islam. Salah satu corak ideologi adalah unsur kemadegan (tidak dinamis), resistensi (tidak kritis) dan demi kekuatan (tidak transformatif). Untuk
merealisasikan jawaban tersebut Arkoun berusaha meletakkan dogma, interpretasi dan teks secara proporsional. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan diinterpretasikan
sesuai dengan konteksnya. Kedua pola pikir dari intelektaual Islam di atas merupakan sedikit contoh yang bisa dijadikan model bagaimana paradigma kritis diberlakukan dalam wilayah pemikiran keagamaan.
Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyalk pemikir lain yang
menerapkan pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thoha Husein, dan sebagainya. Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya berupaya membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih
fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka paradigma kritis PMII justru
menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk
membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.Jelas ini terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat
dengan Islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterapkan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan berjalan dinamis, berjalanya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society akan segera dapat terwujud.
Dank kenyataan ini terwujud manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengertian, kerangka paradigmatic dan konsep teoritis dari
paradigma kritis yang dibangun oleh PMII. Dalam pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan transformasi sosial, karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran metodologis konsepsional untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan sikap kritis dalam memandang realitas. Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi berbagai tendensi ideologi, memberikan perspektif kritis dalam wacana agama dan sosial, namun ia tidak mampu memberikan
perspektif perubahan pasca masyarakat terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif kritis, paradigma kritis tidak memberikan tawaran yang praktis. Dengan kata lain, paradigma kritis
hanya mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing, menjembatani dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat. Paradigma kritis masih signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis social, tetapi kurang mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial.
Karena ia tidak dapat memberikan perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam masyarakat untuk bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis transformatif. Paradigma kritis
transformatif PMII dipilih sebagai upaya menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dari bacaan kritisnya terhadap realitas. Dengan demikian paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa
digunakan oleh PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis.
0 Comments