Refleksi 60 Tahun PMII : Harapan Dan Tantangan




Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah organisasi kemahasiswaan yang bergerak diluar kampus (Ekstra). Dengan memegang prinsip ke-Mahasiswaan, ke-Islaman, dan ke-Indonesiaan. PMII lahir pada tanggal 17 April 1960 di kota Surabaya. Yang tidak lepas dari 13 para deklaratornya dan terpilih-lah Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum pertama.

Dilihat dari kacamata sejarah, PMII merupakan salah satu wadah kemahasiswaan yang sampai hari ini masih komitmen dengan ihwal perjuagan demi tegaknya kesejahteraan rakyat. Namun berangkat dari situ pula, kritik-realitas masyarakat akan konsistensi perjuangan masih terus dipertanyakan.

Dengan peradaban yang panjang nan jauh dari para angkatan pendiri, maka problematika, tugas serta tantangan yang di emban  oleh setiap kader saat ini haruslah bisa ditangani lewat modal persemaian hang ditempuh dan proses yang matang pula.

Tentu tidak ada pilihan lain selain mampu mendobrak problematika dan tantangan. Kecuali jika ingin terjerambah dalam arus pragmatis serta karakter hedonis yang ditawarkan oleh angin zaman lewat sistematisasi budaya yang konsumtif.

PROBLEMATIKA

Sejak sebelum di deklarasikannya PMII, kalangan muda Nahdlatul Ulama masih gamang. Baik secara politik, sosial, bahkan mengerucut kepada ketidaktersediaannya wadah untuk membentuk wawasan bagi para mahasiswa, tentunya wadah yang dinanti para mahasiswa yang berlatar belakang Nahdliyyin.

Fase awal mengarungi derasnya dinamika berbangsa dan bernegara, semua organ kemahasiswaan (tak terkecuali PMII) dibenturkan dengan kediktatoran ORBA (Orde Baru) yang berhasil menumbangkan kepemimpinan sebelumya, yang tidak lain dibawah kendali Suharto dan bala tentaranya (Feodalisme, Militerisme, dan Kapitalisme).

Dimasa kedigdayaan selama 32 tahun, ORBA telah menciptakan kesengsaraan, ketertindasan hingga ketakutan yang menyelimuti setiap cara pandang kemahasiswaan waktu itu. Terlebih mereka yang dengan segenap perjuangan menghantarkan fase baru setelah menempuh hari momentual yang tercipta di tahun 1998, lewat pintu Reformasi.

Transisi perpindahan zaman mulai dirasakan setelahnya. Kebingungan dan kedunguan tak lepas dari sindrom-sindrom di tubuh wadah kemahasiswaan. Yang dulunya menolak dan anti-kemapanan, kini para mahasiswa bertransformsi menjadi para elite pemangku kekuasaan. Dan bagi mereka yang tersisa dan masih setia dengan perjuangan serta konsisten di jalan rakyat, mulai mempertanyakan oreientasi personal (kesejahteraan pribadi).

Di fase selanjutnya, dunia mempertontonkan kemegahannya lewat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin canggih. Arus informasi mulai tak terbendung, dan pada gilirannya menciptakan ruang pertarungan yang baru. Dimensi ekonomi, sosial, dan bahkan politik tidak lepas dari implikasi perubahan zaman tersebut. Adaptasi dengan dunia global, perubahan budaya, hingga masuknya ideologi baru yang mengancam prinsip kedaulatan dalam berbangsa dan bernegara.

Dengan pelbagai macam perubahan, para mahasiswa yang menempa diri dalam wadah kemahasiswaan ektra-kampus yang salah satunya adalah PMII, ditantang agar mampu berdiaspora dengan perubahan tersebut. Dengan menguasai IPTEK salah satunya.

Pada tanggal 17 april 2019 kemarin, PMII telah berusia 59 tahun. Tak heran dengan usia yang sudah lebih dari setengah abad itu, PMII masih bisa mengibarkan panji biru-kuning kebesarannya di tengah sejuta tantangan dan problematika yang ada. Problem dan tantangan  bukan hanya datang dari luar, melainkan di dalam tubuh PMII masih banyak yang perlu untuk dibenahi dan dievaluasi kembali. Cara pandang, cara bepijak, hingga arah gerakan yang menjadi tantangan sebenarnya.

Tugas berat yang sangat dirasakan oleh setiap kader adalah menciptakan formulasi baru dalam sistem kaderisasi di tubuh PMII. Yang nantinya ini akan menjadi ihwal gerakan organisasi parlemen-ekstra kampus kedepannya.

Dengan banyaknya kuantitas-jumlah kader di dalam tubuh PMII sekarang, seharusnya disejajarkan dengan kualitas ataupun kemampuan yang dibutuhkan oleh zaman. Agar wadah ini tidak akan terasing bahkan teralienasi. Dengan banyaknya isu wacana global yang mulai menggrogoti eksistensi wadah kemahasiswaan sekarang akan menjadi tantangan berat. Yang salah satunya ialah tentang Revolusi Industri 4.0 dan Revolusi Society 5.0.

PMII pun tak luput dari wacana ini. Mulai dari forum-forum kajian atau diskusi formal, sampai tempat ngopi para aktivis muda itu sering kali diisi dengan pembahasan mengenai tema yang sedang hangat di zaman ini.

Belum sampai menemukan jalan keluar, hari ini PMII kembali diperhadapkan dengan situasi yang sangat berat, ketika melihat rakyat yang  sedang diperjuangkannya sedang mengalami krisis akan kelangsungngan hidupnya. Ini terlihat jelas dari munculnya suatu wabah virus mematikan yang mulai menyebar dan menyerang rakyat Indonesia di penghujung tahun 2019.

Dengan usia PMII yang genap 60 tahun di tahun 2020 ini, semua warga pergerakan (kader PMII) dibuat diam sejenak, guna memikirkan rencana serta rancangan dalam melawan bahkan memerangi proses penyebaran pandemic di Indonesia.


ARAH GERAKAN
Segala macam problematika serta tantangan yang terjadi sekarang ini tidak lepas dari perkembangan zaman yang semakin berubah pula. Hal ini menandai datangnya era baru dengan segala kompleksivitas dinamikanya.

Kader PMII dituntut harus lebih peka terhadap perkembangan zaman. Dengan menguasai ilmu pengetahuan dan dikomparasikan dengan modal paradigma dan nilai-nilai yang telah diasah selama berproses ber-PMII, diharapkan akan terciptanya beragam jawaban dalam menapaki realitas berkehidupan.

Transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh PMII. Yang ditandai dengan munculnya perubahan-perubahan besar di sector industry, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence). Ini merupakan benturan peradaban yang harus dipikirkan oleh PMII sebagai organisasi kemahasiswaan terbesar di dunia saat ini. Dengan ratusan cabang yang tersebar luas di bumi Indonesia kiranya mampu menjawab tantangan perkembangan zaman.

PMII jangan hanya memperhatikan aspek kuantitas jumlah anggota maupun kader yang ada. PMII harus menciptakan serangkaian pola penggemblengan baru namun tidak berbenturan dengan aspek sosial, agar akan ada manusia-manusia berkualitas yang tercipta dari wadah organisasi mahasiswa ektra kampus ini. Pola pendidikan yang telah ada di PMII, juga sudah seharusnya dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Harapan wacana-wacana segar, inovasi  maupun terobosan baru serta pemikiran kritis selalu dinantikan dalam keberjalanan PMII kedepannya.

Tentu kita tau bersama bahwa tingkatan fakultas ataupun berupa rayon merupakan ujung tombak kaderisasi PMII. Artinya setiap anggota maupun kader diperkuat pengetahuan sesuai dengan basic  keilmuan atau jurusannya. Sudah sangat banyak kader PMII yang menempuh pendidikan dikampus dengan ilmu ekstakta. Misalnya, dari fakultas kesehatan, teknologi hingga ilmu pertanian. Hal ini menciptakan warna baru yang ditengarai oleh sistem kaderisasi PMII yang diterapkan saat ini.

Dengan adanya formulasi baru dalam metode kaderisasi saat ini ,maka arah gerakan PMII tidak hanya bicara aspek ke-PMII-an belaka, melainkan peran serta fungsi dari setiap kader harus mampu disesuaikan dengan basic minat maupun keilmuannya masing-masing.
Di usia yang genap ke 60 tahun ini, perlu ada refleksi yang mendalam di benak dan jati diri setiap warga pergerakan. Tak hanya berkutat di dalam pemikiran semata, terlebih mereka yang hanya memaknainya dengan sebatas simbolsasi belaka. Akan tetapi refleksi yang menghadirkan kecemasan, kekhawatiran serta memberikan stimulus untuk menciptakan solusi ditengah masalah dan tantangan yang ada.

Anggota maupun kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) harus keluar dari zona nyamannya. Kesadaran akan tanggung jawab intelektual, moral dan sosial harus menjadi ihwal perjuangan. Agar fungsi sebagai agen perubahan (agent of change), agen control sosial (agent of social control) dapat terwujud, serta tentunya mampu mengawal suara-suara maupun aspirasi rakyat.

Sekali lagi, bahwa menjadi kader PMII tidaklah muda, tidak hanya sebatas simbolisasi semata melainkan lebih dari itu. Ber-PMII berarti sadar akan jati diri sebagi insan yang memegang tanggung jawab moral, intelektual serta sosial. Selaras dengan ini, Joko Priyono seorang kader PMII cabang kota Surakarta mengungkapkan dalam buku terbarunya ; PMII dan Bayang-bayang Revolusi Industri 4.0 "Ber-PMII jangan hanya sebatas simbol saja. Dikau memakai kaos yang bertuliskan PMII, berjas dan berfoto dengan bendera PMII --diunggah di media sosial- berharap like, komen dan jaminan surga, nongkrong-nongkrong di basecamp, ngopi-ngopi di warung --tapi tidak memiliki esensi yang jelas. Engkau kemudian tak bisa menjawab --diam seribu bahasa ketika ditanya; buku terakhir yang dibaca apa. Ada agenda diskusi justru menapik dengan alasan; sibuk. Sering absen dalam pelbagai agenda yang dilakukan struktur organisasi hingga bertahun-tahun di PMII tapi kontra produktivitas. (hlm. 30)"

Untuk sahabat-sahabat dan seluruh para tamu undangan yang gandrung akan keadilan, selamat memperingati Hari Lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang ke 60 tahun. semoga sahabat-sahabat tak akan pernah bosan dan tak malu telah menjadi bagian dari PMII, namun juga jangan membuat malu PMII kalau hanya sekedar ngaku-ngaku. Teruslah bergerak, karena kita pergerakan bukan organisasi yang stagnan.



Post a Comment

0 Comments