Membaca Atau Mati

Oleh Kusnadi 

Dulu, pekik yang paling membakar adalah : "Merdeka atau Mati". Pengertian frasa ini adalah lebih baik mati daripada terjajah. Lebih baik berjuang daripada menikmati penjajahan, entah karena perjuangan itu kita harus mengakhiri hidup. Sebab, hidup adalah perjuangan, bukan kepasrahan.
Pengertian yang lebih filosofis adalah bahwa sebaik-baik hidup adalah terbebas dari penjajahan. Sebaliknya seburuk-buruk hidup adalah mereka yang menikmati penjajahan.
Dengan pengertian itulah dapat kita simpulkan bahwa hidup itu adalah kebebasan.

Kita tak pernah hidup tatkala kita tidak terbebas. Pengertian inilah yang kemudian kita dekatkan dengan sabda pendidikan, yaitu sebuah proses berkesinambungan dengan penuh kesadaran, perencanaan, dan bersistem untuk memanusiakan manusia. Dengan kata lain, pada hakikatnya bahwa manusia belum menjadi seutuhnya manusia ketika tidak mengecap pendidikan. Manusia akan menjadi manusia yang seutuhnya setelah menikmati pembelajaran. Manusia harus aktif-produktif (hidup), bukan pasif-konsumtif (mati).

Saat ini kita sedang terus memperbaiki sistem pendidikan kita, dengan semangat menggelorakan "Ayo Membaca", setidaknya selama 15 menit (di ruang kelas). Gerakan ini yang bertujuan untuk menumbuhkan budaya literasi kita yang kian hari kian buram. Kebijakan itu ditunjukan dalam The Worlds Most Literate Nations (WMLN) 2016. Betapa tidak angka melek literasi kita berada pada posisi ke-60 dari 61 negara yang dikaji. Kita terletak pada kedua terakhir terburuk.  Miris!!!

BERMULA DARI MEMBACA

Itulah sebabnya saya pernah berdiskusi bersama teman-teman di daerah Purwakarta. Dan menginisiasi Gerakan Semua Buku ! Rencananya (Semoga terkabul) dengan cara mengumpulkan buku bekas atau baru, dan disalurkan ke pelajar miskin di pelosok-pelosok, ke Komunitas baca pinggiran, sekolah-sekolah, dan madrasah. Mengapa harus buku, dan kenapa harus membaca ?

Mengutip dari Joko Pinurbo, beliau pernah mengatakan : Masa kecil kau rayakan dengan membaca; (maka) kepalamu berambutkan kata-kata. Berangkat dari ini bahwa kata berasal dari pikir yang diproduksi dari membaca. Membaca adalah bahan baku untuk menuangkan ide. Semakin banyak yang membaca semakin banyak pula bahan baku, setelah banyak bahan baku mau dijadikan apapun ya terserah kita mengolahnya.
Enak kalo sudah punya bahan baku, entah mau dimuntahkan lewat gerak ataupun lewat tulisan.

Dan jujur (kalo boleh curhat) saya selalu beranggapan bahwa bahan baku untuk menulis adalah membaca. Maka dari itu pesan Ayo Membaca juga mengandung pesan lain, Ayo menulis, ayo produktif, ayo bergerak. Sebab membaca adalah menanam ideologi, membaca adalah mempersiapkan diri, membaca adalah melengkapi rongga-rongga bangunan.

Maka dari itu jargon "Merdeka atau mati" rasa perlu kita terus gelorakan dalam dada kita, dengan keadaan yang istilah saya lebih kepada penjajahan non fisik. Dan disinilah justru kita diuji tentang hakikat kemerdekaan itu. Apakah setelah merdeka kita akan leha-leha? Jadi ka leha-leha tentu saja kita tak lebih mulia dari (para pendiri bangsa) Tan Malaka ketika dalam pergerakan nya dikepung dia lebih dulu menyelamatkan buku-buku daripada harta lainnya. Bung Karno menyibukkan dengan buku-buku ketika dipenjara, bahkan Pramoedya Ananta Toer justru berkarya ketika dalam penjara.

Terakhir Albert Einstein pernah bergumam bahwa imajinasi lebih liat dan liar daripada logika. Misal logika membawa kita dari A ke B, tapi imajinasi akan membawa kita kemana-mana. Jadi jangan takut untuk membaca.


Post a Comment

0 Comments